Pengantar
Bila kita berbicara tentang klasifikasi hasil belajar, rujukan utama kita
selalu mengacu pada taksonomi Bloom, yang membagi hasil belajar pada tiga
ranah, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Sesungguhnya kita memiliki
banyak tokoh pendidikan yang mengemukakan hasil belajar/pendidikan yang lebih
komprehensif. Namun memang disayangkan dalam berbagai kajian akademik yang
dilakukan para akademisi jarang yang mengacu pada “taksonomi” yang dikemukakan
oleh para tokoh pendidikan kita. Kondisi ini tentu menimbulkan pertanyaan
mengapa hal itu terjadi? Apakah pendapat para tokoh pendidikan kita tidak
“membumi” sehingga tidak dapat diimplementasikan? Atau apakah karena hasil
pemikiran para tokoh kita tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah teori
sehingga tidak layak dijadikan rujukan kajian akademik?
Padahal kalau saja kita kaji lebih dalam, apa yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan barat sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh para pemikir/tokoh pendidikan kita. Diantara tokoh yang patut diperhitungkan dan kaji secara mendalam adalah Ki Hadjar Dewantara (KHD) dan Moch. Syafe’i. Tulisan ini akan mencoba mendeskripsikan dan menafsirkan apa yang menjadi buah pikiran KHD dan M. Syafe’i khususnya pada ranah olah fikir ini dengan melihat konteksnya.
Perbedaan Pengajaran dan Pendidikan
KHD membedakan antara pengajaran dengan pendidikan. Pengajaran diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan dengan cara memberi ilmu pengetahuan, dan memberi kecakapan hidup pada anak-anak, baik pada aspek lahir maupun batin. Proses pengajaran yang ditujukan untuk olah fikir dilaksanakan dalam upaya mendidik anak-anak untuk memperoleh alat-alat penghidupannya. Oleh karena itu proses pengajaran olah fikir ini harus dilaksanakan secara luas dan mendalam agar anak-anak kelak dapat menjalani kehidupannya lebih baik. Di samping itu, proses pengajaran ini harus menjadikan anak didik menjadi lebih cerdik, berkembang ilmu pengetahuannya yang bermanfaat (fungsional), memiliki kemampuan mencari dan mendapatkan pengetahuan sendiri, dan menggunakannya untuk kepentingan masyarakat dan bangsanya.
Sementara pendidikan adalah daya upaya untuk menumbuh-kembangkan budipekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh untuk melahirkan anak yang memiliki kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan yang selaras dengan dunianya. Oleh karena itu, segala alat, upaya dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodrat anak sendiri. Pada bagian lain KHD mendefinsikan pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya pendidikan dilaksanakan dalam upaya memberi tuntunan atas perkembangan potensi (kekuatan kodrat) anak secara optimal agar mereka baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Padahal kalau saja kita kaji lebih dalam, apa yang dikemukakan oleh para ahli pendidikan barat sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh para pemikir/tokoh pendidikan kita. Diantara tokoh yang patut diperhitungkan dan kaji secara mendalam adalah Ki Hadjar Dewantara (KHD) dan Moch. Syafe’i. Tulisan ini akan mencoba mendeskripsikan dan menafsirkan apa yang menjadi buah pikiran KHD dan M. Syafe’i khususnya pada ranah olah fikir ini dengan melihat konteksnya.
Perbedaan Pengajaran dan Pendidikan
KHD membedakan antara pengajaran dengan pendidikan. Pengajaran diartikan sebagai proses pendidikan yang dilaksanakan dengan cara memberi ilmu pengetahuan, dan memberi kecakapan hidup pada anak-anak, baik pada aspek lahir maupun batin. Proses pengajaran yang ditujukan untuk olah fikir dilaksanakan dalam upaya mendidik anak-anak untuk memperoleh alat-alat penghidupannya. Oleh karena itu proses pengajaran olah fikir ini harus dilaksanakan secara luas dan mendalam agar anak-anak kelak dapat menjalani kehidupannya lebih baik. Di samping itu, proses pengajaran ini harus menjadikan anak didik menjadi lebih cerdik, berkembang ilmu pengetahuannya yang bermanfaat (fungsional), memiliki kemampuan mencari dan mendapatkan pengetahuan sendiri, dan menggunakannya untuk kepentingan masyarakat dan bangsanya.
Sementara pendidikan adalah daya upaya untuk menumbuh-kembangkan budipekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh untuk melahirkan anak yang memiliki kesempurnaan hidup, yaitu kehidupan dan penghidupan yang selaras dengan dunianya. Oleh karena itu, segala alat, upaya dan cara pendidikan harus sesuai dengan kodrat anak sendiri. Pada bagian lain KHD mendefinsikan pendidikan sebagai tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak. Artinya pendidikan dilaksanakan dalam upaya memberi tuntunan atas perkembangan potensi (kekuatan kodrat) anak secara optimal agar mereka baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan hidup yang setinggi-tingginya.
Fungsi Pendidikan
Dalam kaitannya dengan fungsi pendidikan, KHD membagi watak manusia menjadi dua bagian, yaitu bagian yang intelligebel dan bagian biologis. Bagian intelligebel adalah watak yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau fikiran (intelek). Bagian inilah yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan, seperti kelemahan fikiran, kebodohan, kurangnya wawasan, kurang cepat berpikir, dll. Melalui upaya pendidikan, bagian intelligebel anak dapat dikembangkan sehingga anak memiliki kemampuan berpikir dengan baik, memiliki kecakapan untuk mempertimbangkan kuat-lemahnya kemauan. Sedangkan watak bagian biologis adalah watak yang berhubungan dengan dasar-hidup manusia dan yang tidak akan dapat berubah selama hidup. Bagian biologis ini adalah bagian-bagian jiwa manusia yang terkait dengan “perasaan” seperti rasa-takut, rasa-malu, rasa-kecewa, rasa-iri, rasa-egoisme, rasa-sosial, rasa-agama, rasa-berani, dll. Dalam konteks ini, pendidikan tidaklah dapat menghilangkan perasaan-perasaan “jelek” yang dimiliki manusia. Rasa-rasa tersebut akan tetap ada di dalam jiwa manusia, mulai dari masih kecil hingga dewasa. Peran pendidikan hanyalah mengendalikan agar perasaan tersebut tidak muncul. Anak yang memiliki watak “penakut” setelah mendapat pendidikan yang baik, tidaklah serta merta akan menjadi anak yang berwatak pemberani. Rasa takut yang dimilikinya hanya tidak tampak, karena ia telah memiliki kecerdasan fikiran, sehingga dapat menimbang dan memikirkan mana yang seharusnya ditakuti dan mana yang tidak perlu ditakuti, yang pada akhirnya dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut terhadap sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Dengan demikian, dalam hal ini pendidikan berfungsi mengembangkan kecerdasan intelligebel (fikiran), sehingga pandai menimbang-nimbang dan berfikir untuk memperkuat kemauannya untuk tidak takut, tidak iri, tidak egois, dst.
Dalam kaitannya dengan fungsi pendidikan, KHD membagi watak manusia menjadi dua bagian, yaitu bagian yang intelligebel dan bagian biologis. Bagian intelligebel adalah watak yang berhubungan dengan kecerdasan angan-angan atau fikiran (intelek). Bagian inilah yang dapat dipengaruhi oleh pendidikan dan lingkungan, seperti kelemahan fikiran, kebodohan, kurangnya wawasan, kurang cepat berpikir, dll. Melalui upaya pendidikan, bagian intelligebel anak dapat dikembangkan sehingga anak memiliki kemampuan berpikir dengan baik, memiliki kecakapan untuk mempertimbangkan kuat-lemahnya kemauan. Sedangkan watak bagian biologis adalah watak yang berhubungan dengan dasar-hidup manusia dan yang tidak akan dapat berubah selama hidup. Bagian biologis ini adalah bagian-bagian jiwa manusia yang terkait dengan “perasaan” seperti rasa-takut, rasa-malu, rasa-kecewa, rasa-iri, rasa-egoisme, rasa-sosial, rasa-agama, rasa-berani, dll. Dalam konteks ini, pendidikan tidaklah dapat menghilangkan perasaan-perasaan “jelek” yang dimiliki manusia. Rasa-rasa tersebut akan tetap ada di dalam jiwa manusia, mulai dari masih kecil hingga dewasa. Peran pendidikan hanyalah mengendalikan agar perasaan tersebut tidak muncul. Anak yang memiliki watak “penakut” setelah mendapat pendidikan yang baik, tidaklah serta merta akan menjadi anak yang berwatak pemberani. Rasa takut yang dimilikinya hanya tidak tampak, karena ia telah memiliki kecerdasan fikiran, sehingga dapat menimbang dan memikirkan mana yang seharusnya ditakuti dan mana yang tidak perlu ditakuti, yang pada akhirnya dapat memperkuat kemauannya untuk tidak takut terhadap sesuatu yang tidak perlu ditakuti. Dengan demikian, dalam hal ini pendidikan berfungsi mengembangkan kecerdasan intelligebel (fikiran), sehingga pandai menimbang-nimbang dan berfikir untuk memperkuat kemauannya untuk tidak takut, tidak iri, tidak egois, dst.
Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut KHD adalah membentuk manusia merdeka segala-galanya; merdeka fikirannya, merdeka batinnya, dan merdeka pula tenaganya, supaya dapat bermanfaat bagi bangsa dan tanah air (h. 12). Sehubungan dengan kemerdekaan ini, KHD mengingatkan bahwa kemerdekaan itu memiliki tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, selfbeschikking) (h. 4). Dengan demikian jelaslah bahwa upaya pendidikan harus mengarah pada pembentukan manusia-manusia yang merdeka dalam segala hal – lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan ….. dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri – agar mereka dapat bermanfaat bagi bangsa dan tanah airnya.
Namun demikian, lebih lanjut KHD mengingatkan bahwa sekolah jangan hanya mengutamakan pada pencarian dan pemberian ilmu dan kecerdasan fikiran, karena kalau hal ini terjadi maka pendidikan akan menjadi tidak berjiwa (zakelijk) dan kurang berpengaruh atas kecerdasan budipekerti dan budi kesosialan. Kecerdasan fikiran dan ilmu pengetahuan hanya akan berakibat pada tumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme), dan sekolah menjadi tidak berjiwa dan anti sosial (h.72). Oleh karena itu KHD tidak hanya menghendaki pembetukan intelek, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam artian pemeliharaan dan latihan susila (h. 58).
Tujuan pendidikan demikian, sesungguhnya sejalan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh M. Syafei, yaitu:
1. menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama, etika dan moral);
2. menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif);
3. menumbuhkembangkan pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang tinggi;
4. menanamkan percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship; serta
5. mewujudkan dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita.
Tujuan pendidikan menurut KHD adalah membentuk manusia merdeka segala-galanya; merdeka fikirannya, merdeka batinnya, dan merdeka pula tenaganya, supaya dapat bermanfaat bagi bangsa dan tanah air (h. 12). Sehubungan dengan kemerdekaan ini, KHD mengingatkan bahwa kemerdekaan itu memiliki tiga macam, yaitu berdiri sendiri (zelfstanding), tidak tergantung pada orang lain (onafhankelijk), dan dapat mengatur dirinya sendiri (vrijheid, selfbeschikking) (h. 4). Dengan demikian jelaslah bahwa upaya pendidikan harus mengarah pada pembentukan manusia-manusia yang merdeka dalam segala hal – lahirnya tiada terperintah, batinnya bisa memerintah sendiri dan ….. dapat berdiri sendiri karena kekuatan sendiri – agar mereka dapat bermanfaat bagi bangsa dan tanah airnya.
Namun demikian, lebih lanjut KHD mengingatkan bahwa sekolah jangan hanya mengutamakan pada pencarian dan pemberian ilmu dan kecerdasan fikiran, karena kalau hal ini terjadi maka pendidikan akan menjadi tidak berjiwa (zakelijk) dan kurang berpengaruh atas kecerdasan budipekerti dan budi kesosialan. Kecerdasan fikiran dan ilmu pengetahuan hanya akan berakibat pada tumbuhnya egoisme dan budi keduniawian (materialisme), dan sekolah menjadi tidak berjiwa dan anti sosial (h.72). Oleh karena itu KHD tidak hanya menghendaki pembetukan intelek, tetapi juga dan terutama pendidikan dalam artian pemeliharaan dan latihan susila (h. 58).
Tujuan pendidikan demikian, sesungguhnya sejalan dengan tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh M. Syafei, yaitu:
1. menumbuhkembangkan budiperkerti dan akhlak mulia (sesuai dengan ajaran agama, etika dan moral);
2. menumbuhkembangkan kemerdekaan berpikir (aktif-kreatif);
3. menumbuhkembangkan pengetahuan, bakat/talenta dan potensi diri sesuai dengan kebutuhan masyarakat; menumbuhkembangkan etos/unjuk kerja yang tinggi;
4. menanamkan percaya diri, kreativitas, kemandirian, dan kewirausahaan (entrepreneurship; serta
5. mewujudkan dalam tindakan nyata semboyan: “cari sendiri dan kerjakan sendiri ”, artinya sekolah harus mampu membiayai dirinya dan tidak mau menerima bantuan yang dapat mengurangi kebebasan untuk mencapai cita-cita.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan
yang sangat kompleks tersebut, KHD membagi tugas pada tiga pusat pendidikan
yang memiliki hak dan kewajibannya masing-masing. Ketiga pusat pendidikan
tersebut adalah:
1. Keluarga buat mendidik budi pekerti dan laku sosial
2. Perguruan, sebagai balai-wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek
3. Pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum muda atau “kerajaan pemuda”, untuk melakukan penguasa diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak. (h. 74)
1. Keluarga buat mendidik budi pekerti dan laku sosial
2. Perguruan, sebagai balai-wiyata, yaitu buat usaha mencari dan memberikan ilmu pengetahuan, di samping pendidikan intelek
3. Pergerakan pemuda, sebagai daerah merdekanya kaum muda atau “kerajaan pemuda”, untuk melakukan penguasa diri, yang amat perlunya buat pembentukan watak. (h. 74)
Dasar Pendidikan
Bersandar pada pengertian pendidikan yang pada hakikatnya adalah menumbuhkan potensi yang dimiliki anak (sesuai kodratnya), maka proses pendidikan yang dilaksanakan tidak boleh memaksa, tidak menggunakan dasar “perintah, hukuman, dan ketertiban” (regering, tucht, en orde) tetapi menggunakan prinsip “tertib dan damai, tata-tentrem” (orde en vrede). Pendidikan dilakukan dengan cara membimbing, mengarahkan, dan mengayomi anak-anak. Istilah yang populer adalah pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dasar Momong, Among, dan Ngemong. Dalam prakteknya pendidikan dilaksanakan dengan cara menghindari unsur paksaan kepada anak. Anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kodratnya, agar mereka menjadi orang yang merdeka. Intervensi hanya dilakukan pada saat anak benar-benar telah menyimpang dari nilai-nilai yang dianut dan kodratnya.
Dasar pendidikan yang dikemukakan oleh KHS di atas, sejalan dengan pepatah yang penuh makna sebagaimana dikemukakan oleh M. Syafe’i tokoh pendidikan INS Kayutanam ”Jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan tetapi pupuklah pohon mangga itu agar menghasilkan buah yang manis”. Pepatah ini mengandung arti bahwa kita sebagai pendidik jangan menuntut anak-anak didik kita untuk menguasai kemampuan yang sesungguhnya mereka tidak memiliki potensi untuk menguasainya. Tugas yang harus dilakukan pendidik adalah berusaha mengembangkan potensi/kodrat yang dimiliki anak secara maksimal agar potensi tersebut teraktualisasi menjadi sebuah kompetensi.
Secara lebih rinci yang menjadi dasar dan sekaligus falsafah pendidikan perguruan INS Kayutanam adalah
Ø NASIONALISME, jati diri bangsa-jati diri masing-masing individu (karakter bangsa dan karakter diri)- membangun kembali
Ø PATRIOTISME
Ø IDEALISME
Ø WIRAUSAHA-ENTERPRENEUR-MANDIRI
Ø MASYARAKAT-KOMUNAL
Ø 3H (HEAD-CIPTA, HEART-RASA, HAND-KARSA) – MANUSIA SEUTUHNYA. Tiga komponen tersebut merupakan komponen utama dalam sistem pendidikan INS Kayu Tanam, yaitu tenaga ia bisa bekerja, otak ia bisa berpikir, dan jiwa ia bisa merasa.
Bersandar pada pengertian pendidikan yang pada hakikatnya adalah menumbuhkan potensi yang dimiliki anak (sesuai kodratnya), maka proses pendidikan yang dilaksanakan tidak boleh memaksa, tidak menggunakan dasar “perintah, hukuman, dan ketertiban” (regering, tucht, en orde) tetapi menggunakan prinsip “tertib dan damai, tata-tentrem” (orde en vrede). Pendidikan dilakukan dengan cara membimbing, mengarahkan, dan mengayomi anak-anak. Istilah yang populer adalah pendidikan dilaksanakan dengan menggunakan dasar Momong, Among, dan Ngemong. Dalam prakteknya pendidikan dilaksanakan dengan cara menghindari unsur paksaan kepada anak. Anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan kodratnya, agar mereka menjadi orang yang merdeka. Intervensi hanya dilakukan pada saat anak benar-benar telah menyimpang dari nilai-nilai yang dianut dan kodratnya.
Dasar pendidikan yang dikemukakan oleh KHS di atas, sejalan dengan pepatah yang penuh makna sebagaimana dikemukakan oleh M. Syafe’i tokoh pendidikan INS Kayutanam ”Jangan meminta buah mangga dari pohon rambutan tetapi pupuklah pohon mangga itu agar menghasilkan buah yang manis”. Pepatah ini mengandung arti bahwa kita sebagai pendidik jangan menuntut anak-anak didik kita untuk menguasai kemampuan yang sesungguhnya mereka tidak memiliki potensi untuk menguasainya. Tugas yang harus dilakukan pendidik adalah berusaha mengembangkan potensi/kodrat yang dimiliki anak secara maksimal agar potensi tersebut teraktualisasi menjadi sebuah kompetensi.
Secara lebih rinci yang menjadi dasar dan sekaligus falsafah pendidikan perguruan INS Kayutanam adalah
Ø NASIONALISME, jati diri bangsa-jati diri masing-masing individu (karakter bangsa dan karakter diri)- membangun kembali
Ø PATRIOTISME
Ø IDEALISME
Ø WIRAUSAHA-ENTERPRENEUR-MANDIRI
Ø MASYARAKAT-KOMUNAL
Ø 3H (HEAD-CIPTA, HEART-RASA, HAND-KARSA) – MANUSIA SEUTUHNYA. Tiga komponen tersebut merupakan komponen utama dalam sistem pendidikan INS Kayu Tanam, yaitu tenaga ia bisa bekerja, otak ia bisa berpikir, dan jiwa ia bisa merasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar