Sabtu, 24 Maret 2012

PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA DAN MASYARAKAT

Abstrak
Pendidikan dalam Islam memiliki kedudukan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan disebutkannya konsep pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits berulang kali.
Pendidikan hendaknya jangan hanya dituangkan dalam pengetahuan semata-mata kepada anak didik, tetapi harus juga diperhatikan pembinaan moral, sikap dan tingkah laku. Oleh karena itu, dalam setiap pendidikan, pengetahuan harus ada pendidikan moral dan pembinaan kepribadian yang sehat. Pendidikan seperti itu ada dalam pendidikan Islam. Pendidikan Islam menurut Ashraf (1993) adalah
pendidikan yang melatih sensibilitas individu sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah, keputusan-keputusan, serta pendekatan-pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan. Mereka dilatih dan secara mental sangat berdisiplin sehingga mereka ingin memiliki pengetahuan bukan saja untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual atau hanya untuk manfaat kebendaan yang bersifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk yang rasional, berbudi, dan menghasilkan kesejahteraan spiritual, moral, dan fisik keluarga mereka, masyarakat, dan umat manusia (Ashraf, 1993).
Untuk itu, pendidikan Islam harus mulai diperkenalkan, diajarkan, dan dibiasakan sejak dini. Pelaksanaannya harus dimulai sejak di dalam lingkungan keluarga dan berlanjut ke lingkungan masyarakat.
Penerapan pendidikan Islam hanya bisa terlaksana dalam rumah tangga Islami yang bertujuan menciptakan Rumahku Surgaku / Baiti Jannati. Bentuk penerapan pendidikan Islam dalam keluarga dimulai bukan hanya ketika anak telah lahir ke dunia, tetapi jauh sebelum itu, yaitu sejak pemilihan pasangan hidup, saat kehamilan, pemilihan nama, hingga memilih teman yang baik bagi anak.
Di samping itu, penerapan pendidikan Islam dalam masyarakat bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang sholeh sehingga terciptalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Bentuk penerapan pendidikan Isalm dalam masyarakat diantaranya membiasakan menolong masayarakat Islam, membina hubungan di kalangan muslim memberi sumbangan dalam perkembangan masyarakat, dan mengukuhkan identitas budaya Islam.
Kata Kunci : Pendidikan Islam, Keluarga, Masyarakat.
1. LANDASAN IDEAL PENDIDIKAN ISLAM
• Q.S Al Alaq : 1- 5
“Bacalah dengan meyebut nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Mulia. Yang mengajar manusia dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya”.
• Q.S. Luqman : 12 – 19
- 10 Nasehat Luqman yang intinya : untuk selalu bersyukur terhadap Allah, tidak mempersekutukan Allah, berbakti kepada kedua orangtua terutama ibunya yang telah mengandung dan menyusuinya, senantiasa berbuat kebaikan, mendirikan sholat, menganjurkan orang mengerjakan kebaikan dan mencegah mereka dari berbuat mungkar, wajib bersabar terhadap musibah dan cobaan, tidak sombong dan angkuh, sederhana dalam berjalan, dan bersuara (bicara) secara santun.
• Q.S. AT-Tahrim : 6
“ Hai orang-orang yang beriman, Lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan“.
• Hadist-Hadits :
- H. R. Buchori Muslim : “Belajarlah, semenjak dari buaian hingga ke liang lahat”
- H.R. Buchori Muslim : “Setiap anak yang dilahirkan itu suci (fitrah), orangtuanyalah yang akan menjadikan anak itu Yahudi, Nasrani dan Majusi“.
- H..R. Buchori Muslim : “Apabila meninggal seorang anak Adam, maka putuslah amalnya kecuali dalam 3 hal, yaitu : shodaqoh jariah, ilmu yang bermanfaat, dan doanya anak yang sholeh”.
- H.R. Abu Daud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah : “Barang siapa mempunyai tiga orang anak perempuan, kemudian ia memberikan pendidikan dengan baik kepada mereka dan menikahkan mereka serta memberikan kasih sayang kepada mereka, niscaya Allah memasukkan dia ke surga”.
2. KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan menurut Ashraf (1993) adalah aktivitas yang senagaja dilakukan untuk mengembangkan indivdidu secara penuh. Langeveld mendefinisikan pendidikan sebagai setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan bantuan yang diberikan kepada anak tertuju pada pendewasaan anak atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap melaksanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya dari orang dewasa dan ditujukan pada orang yang belum dewasa. Ki Hadjar Dewantara menyatakan pendidikan adalah tuntunan di dalam hidup dan tumbuhnya anak-anak, maksudnya pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya (Tirtoraharjo, 1994). Berdasarkan pengertian tersebut diatas dapat diberikan beberapa ciri atau unsur umum dalam pendidikan yang dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pendidikan mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu kemampuan-kemampuan dalam diri individu berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan hidupnya sebagai seorang individu, sebagai warga negara atau warga masyarakat.
b. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan perlu melakukan usaha yang disengaja dan terencana dalam memilih isi (materi), strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai.
c. Kegiatan tersebut dapat diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat, pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.
Di dalam Islam, pendidikan memiliki kedudukan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan disebutkannya konsep pendidikan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits berulang kali. Misalnya dalam wahyu pertama Q. S. Al-Alaq 1-5 yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, yang menyuruhnya membaca dalam keadaan yang tidak bisa membaca. Kondisi ini menyiratkan adanya konsep proses belajar mengajar antara yang lebih tahu (Malaikat Jibril sebagai penyampai wahyu) kepada Nabi Muhammad SAW yang belum tahu bagaimana membacanya. Di samping itu, wahyu pertama ini juga mengandung ajakan atau suruhan belajar mengenai Allah SWT, memahami fenomena alam, dan mengenali diri yang terangkum dalam prinsip-prinsip aqidah, ilmu, dan amal (www.wikipedia.org). Di samping itu, Hadits Riwayat. Buchori Muslim yang menyuruh manusia untuk: “Belajarlah, semenjak dari buaian hingga ke liang lahat”. Disini manusia disuruh untuk tidak henti-hentinya menimba ilmu dan mengenyam pendidikan sedini mungkin hingga ajal menjelang. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang harus dilalui manusia untuk dapat mengembangkan dirinya sepenuhnya (Ashraf, 1993).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan jangan hanya dituangkan dalam pengetahuan semata-mata kepada anak didik, tetapi harus juga diperhatikan pembinaan moral, sikap dan tingkah laku. Ditambahkan Tafsir (1994) bahwa pendidikan harus mencakup pengembangan rohani anak. Oleh karena itu, dalam setiap pendidikan pengetahuan harus ada pendidikan moral dan pembinaan kepribadian yang sehat.
Pendidikan Islam menurut Ashraf (1993) adalah pendidikan yang melatih sensibilitas individu sedemikian rupa, sehingga dalam perilaku mereka terhadap kehidupan, langkah-langkah, keputusan-keputusan, serta pendekatan-pendekatan mereka terhadap semua ilmu pengetahuan mereka diatur oleh nilai-nilai etika Islam yang sangat dalam dirasakan. Mereka dilatih dan secara mental sangat berdisiplin sehingga mereka ingin memiliki pengetahuan bukan saja untuk memuaskan rasa ingin tahu intelektual atau hanya untuk manfaat kebendaan yang bersifat duniawi, tetapi juga untuk tumbuh sebagai makhluk yang rasional, berbudi, dan menghasilkan kesejahteraan spiritual, moral, dan fisik keluarga mereka, masyarakat, dan umat manusia (Ashraf, 1993). Marimba (1962) mendefinisikan pendidikan Islam sebagai bimbingan jasmani, rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran-ukuran Islam. Dengan pengertian yang lain sering kali beliau mengatakan kepribadian yang memiliki nilai-nilai agama Islam, memilih dan memutuskan serta berbuat berdasarkan nilai-nilai Islam, dan bertanggung jawab sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ditambahkan Qardhawi (1980) Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya, akal dan hatinya, rohani dan jasmaninya, akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkannya untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannya, manis dan pahitnya. Berdasarkan pengertian di atas dijelaskan bahwa pendidikan Islam bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji sehingga akan bermuculan generasi muda enerjik yang berotak Jerman dan berhati Makkah.
Untuk itu, pendidikan Islam harus sudah mulai diperkenalkan, diajarkan, dan dibiasakan sedini mungkin. Bila pendidikan agama (Islam) tidak diberikan kepada anak sejak dini, maka akan mengakibatkan : (a). Tidak terdapat unsur agama dalam kepribadian anak sehingga sukar baginya untuk menerima ajaran itu kalau ia telah dewasa; dan (b). Mudah melakukan segala sesuatu menurut dorongan dan keinginan jiwanya tanpa memperhatikan hukum-hukum atau norma-norma yang berlaku. Sebaliknya jika dalam kepribadian seseorang terdapat nilai-nilai dan unsur-unsur agama, maka segala keinginan dan kebutuhan dapat dipenuhi dengan cara yang wajar dan tidak melanggar hukum-hukum agama (Waluyo dalam www. depdiknas. go.id).
Mengingat pentingnya pendidikan agama bagi manusia, maka pendidikan agama harus sudah diperkenalkan dalam lingkungan keluarga dan berlanjut ke lingkungan masyarakat yang terdiri dari sekolah dan masyarakat umum. Pendidikan agama dalam makalah ini adalah pendidikan agama yang berdasarkan pada Al-Qur’an dan Al- Hadits, yaitu Pendidikan Islam.
3. PENDIDIKAN ISLAM DALAM KELUARGA
Di dalam Al-Qur’an, surat At-Tahrim: 6 yang memiliki arti :“Hai orang-orang yang beriman, Lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu…”. Disini Allah memperingatkan manusia untuk melindungi diri dan keluargnya dari siksa api neraka. Disini juga tersirat bahwa anak adalah amanat yang dititipkan Allah kepada orang tuanya. Amanat wajib dipertanggungjawabkan. Secara umum, inti tanggung jawab itu ialah penyelenggaraan pendidikan Islam bagi anak-anak dalam keluarga (Tafsir, 1994).
Keluarga adalah kelompok orang yang dipersatukan oleh ikatan perkawinan, darah, atau adopsi. Di samping itu, keluarga juga bisa dikatakan orang-orang yang hidup bersama dalam satu rumah dan membentuk suatu rumah tangga (house hold) yang merupakan satu kesatuan dan saling berinteraksi dan berkomunikasi mempertahankan kebudayaan bersama yang berasal dari lingkungan sekitar atau menciptakan kebudayaan sendiri. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama dan utama, bukan semata-mata karena alasan urutan atau alasan kronologis, melainkan ditinjau dari sudut intensitas dan kualitas pengaruh yang diterima anak, serta dari sudut tanggungjawab yang diemban orang tua sekaitan dengan pendidikan anaknya (Kusnaeli, dalam www.bkkbn.go.id). Oleh karena itu, keluarga memiliki beberapa fungsi penting, yaitu : fungsi pembinaan dasar moral dan spiritual, fungsi pendidikan, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, fungsi perlindungan / protektif, fungsi rekreatif, fungsi sosial, fungsi afektif.
Penerapan pendidikan Islam hanya bisa terlaksana dalam rumah tangga Islami. Rumah tangga Islami memiliki karakter sebagai berikut: (a). di dalamnya ditegakkan adab-adab Islam, baik menyangkut individu maupun seluruh anggota keluarga; (b). didirikan atas landasan ibadah, bertemu dan berkumpul karena Allah, saling menasehati dalam kebenaran dan kesabaran, saling meyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang munkar karena kecintaannya kepada Allah; (c) dapat menjadi teladan dan dambaan masyarakat dan ummat, tinggal dalam kesejukan iman dan kekayaan ruhani; (d) seluruh anggota keluarga merasakan suasana “surga” di dalamnya atau disebut juga Baiti Jannati (Maryam, tidak diterbitkan).
Biasanya bila kita bertahan pada perlunya subjek (anak didik) dalam mendidik, maka pendidikan anak harusnya dimulai tatkala anak sudah ada. Anak itulah yang menjadi subjek pendidikan tersebut. Namun, dalam Islam ternyata pendidikan anak harus dimulai jauh sebelum kelahirannya. Berikut ini akan dijabarkan secara singkat bentuk-bentuk pendidikan Islam dalam keluarga tersebut (Tafsir, 1994) :
a. Memilih calon pasangan hidup
Calon bapak harus memilih calon istri yang baik; calon ibu juga harus memilih calon suami yang ibu. Suami dan istri yang baik akan berpengaruh pada pendidikan anak-anaknya. Suami yang jahat tidak akan mampu mendidik anaknya. Demikian juga dengan istri yang jahat juga tidak mampu mendidik anak-anaknya. Apalagi bila kedua-duanya jahat atau tidak baik, pasti lebih tidak mampu lagi mereka mendidik anaknya. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama, artinya pengaruh mereka terhadap perkembangan anak mereka sangat besar dan menentukan.
Kriteria dalam pemilihan calon pasangan hidup telah diberikan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu : Wanita dinikahi karena empat kriteria : (1) karena hartanya banyak, (2) karena turunan baik, (3) karena rupanya cantik, (4) karena agamanya baik. Beruntunglah kamu yang memilih wanita karena agamanya; dengan demikian kamu akan berbahagia (H.R. Bukhari dan Muslim). Ciri terpenting dalam hadits ini adalah memilih pasangan yang agamanya baik, karena harta bisa hilang, turunan belum bisa menjamin, kecantikan bisa pudar karena faktor usia, dan sebagainya. Demikian juga berlaku wanita dalam memilih calon suami, utamakan yang agamanya baik dan benar.
b. Saat Kehamilan
Banyak sekali keterangan dari Rasulullah SAW yang menunjukkan bahwa ibu yang sedang hamil diharapkan hidup tenang. Kedua belah pihak, yaitu suami dan istri hendaknya banyak berdoa kepada Allah agar diberi anak yang bagus rupanya, cerdas akalnya, dan luhur pekertinya. Suami istri harus banyak beribadah dan jangan melakukan dosa. Ketenangan hati dan emosi istri harus dijaga; rasa cemburu, takut, khawatir, benci, permusuhan, dan sebagainya hendaklah dijauhi. Guncangan batin yang hebat yang dialami oleh ibu yang sedang hamil menyebabkan aktivitas yang berlebihan pada kulit ginjal sehingga mempengaruhi penghasilan hormone yang disebut hydrocortisone. Hormon ini akan melewati plasenta dan akan samapi pada bayi yang dikandungnya. Hal ini salah satunya dapat menyebabkan cacat berupa celah pada mulut dan bibir sumbing (Hasyim dalam Tafsir, 1994).
Uraian di atas menjelaskan beberapa teori pendidikan anak yang Islami sebelum lahir. Pendidikan ini diberikan kepada ayah dan ibu dari bayi yang dikandungnya. Setelah anak lahir, barulah pendidikan anak secara langsung terhadap bayi tersebut.
c. Memberi Nama yang Baik
Pemberian nama bagi bayi yang baru lahir merupakan doa dan harapan orang tua terhadap anaknya. Selain itu, nama juga bersangkutan dengan harga diri seseorang. Orang yang memiliki nama yang jelek akan merasa rendah diri dalam pergaulan. Pada aspek inilah nama itu berhubungan dengan masalah pendidikan. Berikanlah nama yang disegani, bukan nama yang dibenci. Nama yang baik dapat juga menjadi penyebab orang yang memiliki nama itu berusaha mencapai kualitas seperti makna yang dikandung dalam nama tersebut. Dalam keshahihannya, Al- Bukhari meriwayatkan dari Sa’ad bin Musayyab, dari ayahnya, dari kakeknya : “Aku datang kepada Nabi SAW. Ia bertanya siapa namaku. Aku jawab, “Hazan (tanah keras).” maka dia berkata, “Namamu Sahl (mudah)”. Aku tidak mengubah nama yang diberikan ayahku. Kata Ibn Musayyab, “Setelah itu kesusahan tidak pernah hilang dari kami”.
Berdasarkan penjelasan di atas, kita tidak boleh memberi gelar atau panggilan yang buruk kepada anak kita, seperti si gendut, si dungu, si nakal, dan semacamnya. Panggilan seperti itu dapat menimbulkan rasa hina dan rendah diri pada anak. Panggilan yang buruk, dalam konsep Psikologi Pendidikan juga tidak diperbolehkan karena ini merupakan labeling yang dapat membuat anak berperilaku sesuai julukannya tersebut. Al-Qur’an dalam surat Al- Hujarat ayat 11 mengingatkan : “Dan jangan kalian panggil memanggil dengan sebutan yang buruk”.
d. Memilih Teman Bermain Anak
Anak-anak memerlukan teman bermain. Itu adalah kebutuhan psikologis. Dalam bermain dengan teman, anak-anak mengembangkan kemampuan sosialisasinya, berlatih menjadi pemimipin, terbentuk rasa solidaritas, bertambah pengetahuan tentang lingkungan, mengembangkan penalaran moralnya, dan sebagainya. Inilah sisi positif dari bermain dengan teman.
Namun, berteman juga memiliki sisi negatif, yaitu pengaruh buruk yang diperoleh dengan berteman. Orang tua agar hati-hati dalam memilih teman yang baik bagi anak. Hal itu seperti yang dituliskan dalam Al-Qur’an surat Al-Zukhruf ayat 67, yang artinya : “ Teman-teman akrab pada hari itu sebagian menjadi musuh terhadap yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa”. Adapun kriteria dalam memilih teman adalah teman yang bermoral baik, teman yang cerdas, dan teman yang kuat akidah Islamnya (Tafsir, 1994).
Untuk mencegah anak memilih teman yang tidak baik, biasakan untuk berdiskusi moral dengan anak. Artinya apapun yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh anak, harusnya anak diajak berdiskusi mengenai sebab akibat dari tingkah lakunya tersebut. Hal ini dapat menumbuhkan dan mengembangkan pertimbangan moral anak. Diskusi moral yang dibiasakan orang tua pada anaknya masih tertanam kuat pada diri anak, sehingga ketika anak menghadapi berbagai dilema kehidupan, anak akan berusaha mengingat ajaran dan pengalaman yang pernah anak alami bersama orang tuanya untuk menjadi penyaring (filter) dalam menghadapi permasalahannya.
Hal di atas sesuai dengan hasil penelitian disertasi Prianto (2006) yang meneliti tentang perkembangan moral anak usia sekolah. Prianto menyatakan bahwa empati, nurani, dan perkembangan moral orang tua yaitu ibu sangat berpengaruh pada perkembangan moral anak melalui gaya pengasuhan induksi (induction), gaya pengasuhan tanggap (responsiveness), gaya pengasuhan menuntut (demandingness), dan gaya pengasuhan teladan (modeling). Pada gaya pengasuhan induksi (induction), ibu memberikan stimulasi moral menggunakan penjelasan (komunikasi dua arah) tentang mengapa sesuatu diperbolehkan dengan penekanan pada akibatnya pada orang lain. Faktor empati ibu juga diperlukan dalam gaya pengasuhan ini untuk memahami apa yang dirasakan anak. Apabila anak tidak mengerti dan menolak larangan ibu maka diperlukan diskusi dan komunikasi dua arah sehingga anak akhirnya dapat benar-benar memahami penjelasan ibunya. Internalisasi moral dengan pemahaman seperti di atas akan lebih membantu anak melakukan pertimbangan moral yang sesuai dengan situasi yang dihadapinya.
Di samping itu, terdapat 10 konsekuensi yang harus dimiliki oleh keluarga Islami dalam menciptakan pendidikan Islam ( Maryam, tidak diterbitkan) :
a. Didirikan dalam rangka ibadah (sejak proses awal, menempuh kehidupan dalam suasana ta’abudiyah) (Q.S. Adz-Dzariyat:56).
b. Terjadi internalisasi nilai-nilai Islam secara kaffah oleh seluruh anggota keluarga (benteng terkuat dan filter terbaik di era global) (Q.S. Al-Baqarah:208).
c. Diperlukan qudwah (keteladanan) nyata. Orang tua adalah “Model” bagi anak dan anggota keluarga.(Q.S. Ash-Shaf:3-4).
d. Penempatan posisi masing-masing anggota sesuai dengan Syari’at (Q.S. An-Nisa: 32).
e. Terbiasa tolong-menolong dalam menegakkan Adab Islam (Q.S. Al-Maidah:2)
f. Kondusif bagi terlaksananya ajaran-ajaran Islam (Jama’ah, tadarus, penataan dan menghias rumah, kebersihan dsb)
g. Memiliki usaha sebagai sumber penghidupan keluarga yang wajar (tanamkan jiwa qanaa’h, sederhana, tidak boros).
h. Menghindari hal-hal yang tidak sesuai dengan semangat Islam ( Q.S. At- Tahrim : 6).
i. Berperan dalam membina masyarakat dan lingkungan (sebagai makhluk sosial tidak dapat lepas diri dari masyarakat).
j. Terbentengi dari lingkungan yang buruk (pada kasus lingkungan yang sudah parah bahkan dianjurkan hijrah).
4. PENDIDIKAN ISLAM DALAM MASYARAKAT
Pelaksaan pendidikan Islam dalam masyarakat bertujuan untuk membentuk masyarakat yang sholeh (Langgulung, 1988). Masyarakat sholeh adalah masyarakat yang percaya bahwa ia mempunyai risalah (message) untuk umat manusia, yaitu risalah keadilan, kebenaran, dan kebaikan yang akan kekal selama-lamanya, tidak terpengaruh oleh faktor-faktor waktu dan tempat. Hal ini sesuai dengan firman Allah SWT : “ Kamu adalah ummah terbaik yang pernah diutus bagi umat manusia, sebab kamu mengajar kepada kebaikan, dan melarang dari kejahatan “ (Q.S. Ali-Imran:110). Tugas pendidikan Islam berusaha menolong masyarakat untuk mencapai tujuan tersebut.
Menurut Langgulung (1988), tugas pendidikan Islan dalam masyarakat adalah sebagai berikut :
a. Menolong masyarakat membina hubungan-hubungan sosial yang serasi, setia kawan, kerjasama, interdependen, seimbang, sesuai dengan firman Allah: “ Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara” (Q. S. Al-Hujarat: 10)
b. Mengukuhkan hubungan di kalangan kaum muslimin dan menguatkan kesetiakawannya melalui penyatuan pemikiran, sikap, dan nilai-nilai. Ini semua bertujuan menciptakan kesatuan Islam.
c. Memberi sumbangan dalam perkembangan masyarakat Islam. Yang dimaksud perkembangan adalah penyesuaian dengan tuntutan kehidupan modern dengan memelihara identitas Islam, sebab Islam tidak bertentangan dengan perkemabngan dan pembaharuan. Peranan pendidikan Islam disini dapat disimpulkan dalam kata memberi kemudahan bagi perkembangan dalam masyarakat Islam. Hal ini dapat dicapai dengan : (1) menyiapakan individu dan kelompok untuk menerima perkembangan dan turut serta di dalamnya.; (2) menyiapkan mereka untuk membimbing perkembangan itu sesuai dengan tuntutan-tuntutan syariat, akhlak, dan aqidah Islam.
d. Mengukuhkan identitas budaya Islam
Hal ini dapat dicapai dengan pembentukan kelompok-kelompok terpelajar, pemikir-pemikir dan ilmuwan-ilmuwan yang :
i. bersemangat Islam, sadar, dan melaksanakan ajaran agamanya, sangat prihatin dengan peninggalan peradaban Islam, di samping bangga dan bersedia membelanya mati-matian, sehingga karyanya bercorak Islam sejati.
ii. Menguasai sains dan teknologi modern dan bersifat terbuka terhadap peradaban dan budaya lain.
iii. Bersifat produktif: mengarang membuat karya inovaitf, menyelaraskan potensi-potensi yang ada, dan membimbing orang-orang lain.
iv. Bebas dari ketergantungan kepada orang atau budaya lain.
Demikianlah makalah saya kali ini, semoga bermanfaat untuk menciptakan “Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Masyarkat” sehingga tercipta keluarga yang sakinah, masyarakat yang sholeh, demimendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Daftar Pustaka
Ashraf, Ali. (1993). Horison Baru Pendidikan Islam. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Langgulung, Hasan. (1988). Pendidikan Islam dalam Menghadapai Abad ke 21. Jakarta : Pustaka Al Husna.
Marimba, Ahmad D. (1962). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung : Al-Ma`arif,).
Maryam, Siti. Tidak diterbitkan. Pendidikan Agama dalam Keluarga dan Masyarakat. Materi orientasi Keluaraga Sakinah Balai Diklat Keagamaan Jakarta.
Prianto, R., M., A. (2006). Pengaruh Empati, Nurani, dan Perkembangan Moral Ibu terhadap Perkembangan Moral Anak melalui Gaya Pengasuhan Ibu. Depok: Pascasarjana Universitas Indonesia. Disertasi.
Qardhawi, M. Yusuf. (1980). Pendidikan Islam dan Madrasah Hasan Al-Banna, terj. Bustami A. Gani dan Zainal Abidin Ahmad. Jakarta : Bulan Bintang.
Tafsir, Ahmad (1994). Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Tirtorahardjo, Umar, dan La Sulo. (1994). Pengantar Pendidikan. Jakarta : Dirjen Dikti Depdikbud.
http://ms.wikipedia.org. Institusi dalam Pendidikan Islam. Diunduh tanggal 27 Februari 2010 jam 13.11.
www.depdiknas.go.id Waluyo, Bambang. Pendidikan Agama Dasar Pembentukan Pribadi Anak. Diunduh tanggal 27 Februari 2010. jam 15.24.
www.bkkbn.go.id. Kusnaeli. 2008. Memaknai Hari Keluarga. Diunduh tanggal 28 Februari 2010 jam 20.11.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar